Senin, 19 Maret 2012

kasus bank century dan politik


Kasus Bank Century dan Politik
Senin, 14 Desember 2009 - 09:48 wib
Kasus Bank Century menjadi berita utama media massa setelah selesainya perseteruan Kepolisian Negara RI (Polri) dan Kejaksaan Agung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK).

Barangkali ada yang mengatakan bahwa perseteruan itu belum selesai sepenuhnya karena adanya gugatan praperadilan oleh sejumlah ahli hukum terhadap surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan oleh kejaksaan karena mereka melihat alasan yang digunakan tidak tepat. Namun pemberitaan di media dalam beberapa minggu terakhir telah beralih ke kasus Bank Century.

Kasus Bank Century adalah kasus hukum karena adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sejumlah pejabat pemerintah dalam mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun bagi bank yang bermasalah itu tahun lalu.

Dalam kasus tersebut juga muncul dugaan bahwa sebagian dana talangan tadi mengalir ke sejumlah pejabat politik dan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Bahkan ada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menyebut nama sejumlah tokoh yang menerima sejumlah uang secara terang-terangan. Tuduhan ini kemudian diadukan ke Kepolisian Daerah (Polda) Jakarta Raya untuk diproses secara hukum.

Kasus Bank Century berkembang menjadi isu politik karena yang membuat kebijakan tersebut adalah sejumlah pejabat pemerintah sehingga kebijakan itu menjadi kebijakan publik. Kebijakan publik yang diartikan sebagai kebijakan pemerintah adalah salah satu objek terpenting dalam politik sehingga bergulirnya kasus Bank Century menjadi isu politik adalah suatu hal yang wajar.

Isu tersebut adalah isu politik sehingga tidak perlu ada tuduhan politisasi isu kasus Bank Century karena kasus itu telah menjadi isu politik dengan sendirinya. Meskipun nantinya kasus Bank Century tidak terbukti merupakan pelanggaran hukum, kasus ini tetap saja merupakan kasus politik karena keputusan yang diambil oleh para pejabat keuangan dan perbankan adalah isu kebijakan publik. Katakanlah, semua pejabat terkait tidak terbukti melanggar hukum, tetapi citra politik mereka telah rusak yang memerlukan waktu panjang untuk merehabilitasinya.

Aroma politik dari kasus Bank Century menjadi sangat kental karena yang dipersoalkan adalah uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar. Kasus Bank Century ini dengan segera membentuk opini publik di dalam masyarakat bahwa ada sejumlah tokoh penting di republik ini yang memanfaatkan dana talangan tersebut untuk kepentingan politik mereka.

Gerakan massa yang ingin menuntaskan kasus Bank Century memanfaatkan Hari Antikorupsi Sedunia pada tanggal 9 Desember 2009 yang lalu untuk menyuarakan tuntutan mereka secara gamblang. Warna politik kasus Bank Century semakin mengental oleh adanya pernyataan Presiden SBY di depan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat beberapa hari yang lalu. Dalam pidatonya itu, Presiden SBY mengatakan bahwa gerakan antikorupsi telah ditunggangi oleh kepentingan politik sehingga tujuannya tidak lagi murni antikorupsi karena bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden SBY.

Perkembangan Politik yang Aneh

Kasus Bank Century telah menghasilkan perkembangan politik yang aneh karena telah terjadi pertentangan politik antara dua kelompok yang sama-sama ingin memberantas korupsi di Indonesia. Kelompok pertama adalah kelompok ormas yang mengadakan acara peringatan tanggal 9 Desember 2009 yang sangat bersemangat untuk mengungkap kasus Bank Century sebagai kasus korupsi yang paling baru di Indonesia.

Di dalam kelompok ini juga termasuk sejumlah anggota DPR, baik yang termasuk dalam Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century DPR maupun tidak. Kelompok kedua adalah kelompok SBY yang juga secara terang-terangan menyatakan sikap mereka yang antikorupsi dan ingin segera menuntaskan kasus Bank Century dengan membuka kasus seluas-luasnya, tetapi menaruh kecurigaan terhadap kelompok pertama.
Dua kelompok mempunyai tujuan yang sama, tetapi terlibat dalam pertentangan politik. Faktor penyebab pertentangan antara kedua kelompok ini adalah perbedaan sikap menghadapi kasus Bank Century. Kelompok pertama telah menyatakan sejak awal bahwa kasus Bank Century perlu ditangani oleh DPR (melalui Pansus Hak Angket Bank Century) sebagai bagian dari usaha untuk mengungkapkan kasus Bank Century karena bagi mereka kasus tersebut telah cukup jelas.

Di pihak lain, Partai Demokrat dan beberapa partai koalisi pemerintah tidak mau membentuk Pansus Hak Angket Bank Century di DPR sebelum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil auditnya. Kelompok ini kemudian menyatakan dukungannya terhadap Pansus Hak Angket Bank Century setelah Presiden SBY menyatakan dukungannya terhadap pengungkapan kasus Bank Century dan pembentukan pansus di DPR.

Faktor penyebab kedua adalah perbedaan pandangan dalam melihat kemungkinan pelanggaran hukum oleh pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan keputusan pengucuran dana talangan bagi Bank Century. Kelompok pertama merasa yakin telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Sebaliknya, kelompok kedua tidak yakin telah terjadi tindakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu mereka menolak anggapan bahwa telah terjadi aliran dana Bank Century kepada sejumlah pejabat pemerintah dan kubu Partai Demokrat. Memang harus diakui telah terbentuk opini publik bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century yang melibatkan dana dalam jumlah yang amat besar.

Opini publik ini diperkuat penemuan BPK yang telah melakukan audit terhadap kasus Bank Century. Masalahnya adalah dana tersebut tidak jelas ke mana perginya dan siapa saja yang menikmatinya? Ketidakjelasan yang berkepanjangan memunculkan berbagai spekulasi di dalam masyarakat. Ketidakjelasan itu juga semakin memperkuat tuduhan sebagian warga masyarakat bahwa telah terjadi korupsi dalam jumlah yang fantastis yang berujung pada tuduhan terhadap pemerintah karena keputusan tersebut oleh pejabat-pejabat tinggi negara yang terkait dengan keuangan dan perbankan.


Oleh karena itu, perkembangan kasus Bank Century di dalam masyarakat menjurus ke arah terpojoknya pemerintah. Sangat disayangkan pemerintah bereaksi terhadap tuduhan tersebut dengan mengatakan tuduhan itu sebagai fitnah. Sikap defensif yang berlebihan yang ditunjukkan oleh pemerintah malah memperhebat pertentangan antara kedua kelompok.

Sikap Pemerintah

Tidak dapat disangkal bahwa opini publik yang berkembang di dalam masyarakat sudah menjurus ke arah tuduhan bersalah sehingga pejabat-pejabat terkait harus diganti. Pemerintah seharusnya tidak melakukan serangan balik dengan mengatakan tuduhan terebut sebagai fitnah atau bertujuan menjatuhkan pemerintah. Tuduhan balik ini jelas tidak membantu dalam menenangkan masyarakat.

Tuduhan tersebut malah seperti menyiramkan bensin ke api yang menyala. Pemerintah dan kader-kader Partai Demokrat tidak perlu menunjukkan kemarahan atau sikap bermusuhan dengan adanya tuduhan seperti itu. Sumpah juga tidak diperlukan karena kelihatannya sumpah yang dilakukan secara sendirian di depan publik telah mengalami inflasi dan menjadi bahan tertawaan.

Justru yang seharusnya disampaikan adalah dukungan terhadap pengusutan perkara Bank Century secepatnya, tidak hanya di Pansus Hak Angket Bank Century DPR, tetapi juga di KPK. Tentu saja bantahan terhadap tuduhan tetap perlu dilakukan. Namun bantahan harus didukung sejumlah fakta. Kritik tidak boleh dijawab dengan tuduhan apa pun terhadap para pengkritik seperti ingin mendongkel atau ditunggangi.

Serangan balik terhadap pengkritik yang tidak didasarkan atas fakta selalu tidak menguntungkan pihak yang melakukan serangan balik. Tentu saja yang diinginkan oleh rakyat adalah terjaganya stabilitas politik meskipun terjadi pertentangan pendapat di antara tokoh-tokoh politik.


dikutip : suaraokezone.com

pedapat saya:
kasus bank century melibatkan pejabat politik partai demokrat, kasus ini telah mencoreng citra dari politik. Banyak kerugian akibat masalah ini. Kasus bank century harus diusut tuntas tanpa ada yang merasa di rugikan lagi.
bank century merupakan sekian dari banyak kasus yang sedang di hadapi di negara ini. Jangan anggap seperti angin berlalu masalah ini karena masalah ini bisa jadi turun meurun jika tidak di berantas dengan tuntas.

korupsi mochtar muhamad tolak eksekusi




KORUPSI: Mochtar Muhamad tolak eksekusi
Oleh Intan Pratiwi
Kamis, 15 Maret 2012 | 14:05 WIB


JAKARTA:  Walikota Bekasi non aktif Mochtar Muhamad menolak eksekusi hukuman yang rencananya akan dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul putusan Mahkamah Agung yang membatalkan vonis bebas terhadap yang bersangkutan.

Sirra Prayuna, kuasa hukum Mochtar Muhamad, menyatakan hingga hari ini pihaknya belum menerima salinan putusan yang berasal dari panitera dimana kasus tersebut disidangkan. Namun begitu hingga hari ini ketika dikonfirmasi ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung, belum ada salinan putusan.

“Harus ada salinan putusan. Tidak ada dalam aturan bahwa petikan putusan bisa menjadi dasar eksekusi. Harus salinan putusan dari panitera dimana kasus itu disidangkan. Tentu kami tunggu dari PN Bandung,” ujarnya hari ini saat mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta.

Dia juga mempertanyakan landasan lemabaga anti suap tersebut dalam melakukan eksekusi. Apablia eksekusi dilakukan saat ini, maka hal terebut merupakan pelanggaran terhadap pasal 270-276 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Dalam KUHAP tidak ada ketentuan mengenai jaksa mengirim surat panggilan kepada terdakwa berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung,” tegas Sirra.

Sebagai informasi sebelumnya MA menjatuhi vonos terhadap walikota Bekasi. Mochtar dijatuhi  hukuman enam tahun penjara dan denda 300 juta. MA melalui Kepala Biro Hukum dan Humas Ridwan Masnyur hari ini mengatakan, majelis hakim kasasi membatalkan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung dan mengabulkan tuntutan jaksa penuntut ukum (JPU).

"Apabila denda tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama enam bulan penjara," ujarnya di Gedung MA hari ini.

Sebelumnya, untuk pertama kalinya Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan terdakwaMochtar Mohammad pada sidang yang digelar Selasa 11 Oktober 2011.

"Memutuskan, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti dituduhkan jaksa. Terdakwa dibebaskan dan dikembalikan harkat dan martabatnya," kata Ketua Majelis Hakim, Azharyadi.

JPU menuntut Mochtar Mohammad selama 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan. Jumlah hukuman tersebut merupakan kumulatif dari empat perkara yang didakwakan kepada terdakwa.

Empat perkara korupsi yang didakwakan pada terdakwa adalah, suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi, suap kepada BPK dan penyalahgunaan anggaran makan-minum yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 5,5 miliar.

Dikutip dari: Bisnis.com

Pendapat saya:  
terjadi lagi kasus korupsi di kelembagaan sudah jelas-jelas dia terlibat dalam kasus korupsi tetapi dia tidak mau dieksekusi berarti dia tidak mau mengakui kesalahannya.
Padahal kasus korupsi ini sangat merugikan masyarakat. Uang yang seharusnya dipakai masyarakat malah di gunakan untuk hal-hal yang menyangkut pribadi.
ini merupakan kasus yang terbesar banyak pelaku-pelaku yang seenaknya mengambil uang rakyat. Seharusnya yang korupsi harus di penjara dengan adil jangan di biarkan bebas berkeliaran ke mana-mana.