Sabtu, 17 Maret 2012

kasus said agil, masalah ketatanegaraan


HUKUM  DAN KRIMINALITAS spacer 

Assegaf: Kasus Said Agil, Masalah Ketatanegaraan

Jakarta, 14 Oktober 2005 15:12
Kuasa hukum mantan menteri agama periode 2001-2004 Said Agil Husen Al Munawar, Mohamad Assegaf menyatakan bahwa kasus kliennya seharusnya bukan masalah pidana, tetapi ketatanegaraan karena mempermasalahkan status terdakwa sebagai menteri.

"Menteri adalah pembantu presiden yang secara periodik melaporkan kegiatan dan kebijakannya kepada presiden. Menteri agama dalam kasus ini juga selalu memberikan laporan berkala dan selama ini tidak pernah mendapat teguran dari presiden," kata M. Assegaf seusai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat.

Menurut dia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya mengetengahkan atau mengutip ketentuan peraturan yang semata-mata berisi kewajiban terdakwa akan tetapi sengaja tidak mengutip hak atau wewenang yang dimiliki terdakwa dalam kapasitasnya sebagai menteri agama dan sebagai Ketua BP-DAU.

"Selaku pembantu presiden itu berarti kebijakan terdakwa selaku menteri agama selalu diketahui oleh presiden dan DPR. Jadi hanya presiden dan DPR yang berhak menilai apakah benar telah terjadi pelanggaran oleh menteri agama dalam melaksanakan kebijakan di dalam mengelola DAU," katanya.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kata Assegaf menambahkan, tidak pada tempatnya mengadili hal-hal yang terkait dengan kebijakan.

Pada persidangan sebelumnya tim jaksa penuntut umum yang terdiri atas Ranu Mihardja, Payaman Hutapea dan Toni Sipuntana mendakwa Said Agil melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara seperti yang diatur pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 KUHP dan pasal 64 KUHP.

Pada kurun musim haji 2001-2004, Said selaku menteri agama disangkakan menyelewengkan dana abadi umat (DAU) yang diperoleh dari hasil efesiensi biaya haji yang dikelola oleh badan pengelola DAU yang seharusnya hanya boleh disalurkan untuk kemaslahatan umat seperti untuk pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasaran ibadah serta penyelenggaraan haji.

Akibat perbuatan terdakwa, menurut JPU, negara diperkirakan menderita kerugian sebesar Rp652,783 miliar atau 131,150 ribu dolar AS.

Majelis hakim yang dipimpin oleh Cicut Sutiyarso menunda persidangan hingga Kamis, 20 Oktober 2005 dengan agenda pembacaan tanggapan JPU atas eksepsi.

dikutip: Gatra .com

pendapat saya : kasus ini seharusnya tidak terjadi, karena uang ini untuk rakyat malah dipakai untuk memeperkaya diri sendiri atau korupsi.
Kejadian seperti ini sering sekali terjadi, maka dari itu pemerintah harus lebih waspada lagi atau lebih memperhatikan kasus-kasus terutama kasus korupsi yang sering terjadi. Jangan di anggap sepele kasus ini karena sanagat merugikan rakyat dan negara.
Para korupsi segera diberikan hukuman yang pantas agar rakyat tidak dirugikan lagi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar